merupakan Projek Aksi Solidaritas kepada perjuangan warga Dago Elos dalam wadah Forum Dago Melawan (yang kini sedang dihadapkan pada kebutuhan biaya mendesak untuk pengajuan persidangan PK-2 di Mahkamah Agung) dalam sebuah kaset pita C30 berisi 12 lelaguan bernuansa protes dalam balutan punk rock primitif dari Stone Acne dan gaya noise punk elektronik dari Jagajaga.
Co-Rilis secara DIY oleh Chaos Non Musica Records & Bandung Pyrate Punx Records.
Bali - Bandung, Juli 2025.
Diaransemen dan dimainkan oleh Stone Acne
Versi remix dimainkan oleh Jagajaga
Direkam di Klub Racun & Jagaraya [2024-2025]
Semua lirik ditulis oleh Ixan Stoned
Ilustrasi dan tata letak sampul oleh Billyanjing
Rekaman suara dalam ‘Dago Tetap Melawan’ versi remix diambil dari malam pertemuan warga dan suasana aktivasi ruang lapang voli Bale RW 02, Dago Elos
All profits, benefits and credits directly goes to warga Dago Elos
✊ ❤️ 🏴
Terlalu kerap, ruang hidup kita harian dipertanyakan keabsahannya. Begitu sering, hingga kita [dipaksa] meragukan keabsahan diri sendiri demi kepentingan segelintir kaum berkuasa dan berpunya.
Pada satu masa, Dago Elos, satu kawasan di kota Bandung, dihadapkan dalam situasi serupa. Pada 2016, tanah turun-temurun yang telah mereka huni dan rawat sebagai ruang hidup sejak sepanjang ingatan, tiba-tiba diklaim oleh Keluarga Muller, berbekal sertifikat Eigendom Verponding warisan kolonial Belanda.
Meski Mahkamah Agung sempat memutuskan bahwa warga sah secara hukum atas tanah tersebut pada 2019, Keluarga Muller bersama konco-konco mafia tanahnya, diam-diam mengajukan banding. Hasilnya: pada 2022, mereka justru memenangkan perkara dalam putusan kontroversial yang membalikkan keadilan. Ancaman penggusuran kembali menggantung di atas kepala warga. Tapi mereka tak gentar.
Kala upaya warga untuk melaporkan pemalsuan dokumen ditolak oleh Polrestabes Bandung pada 2023, demonstrasi pun digelar. Aksi ini dibalas dengan tindakan represif aparat: pasukan bersenjata lengkap berskala besar merangsek masuk Dago Elos; dalam formasi taktis seakan kawasan ini adalah medan tempur, bukan pemukiman warga sipil. Tindakan brutal ini menyisakan luka mendalam bagi warga dan anak-anak yang turut menjadi korban, justru ketika yang tengah mereka upayakan adalah semata mempertahankan ruang hidupnya. Namun di sisi lain, beriringan dengan membanjirnya sorotan publik dan kritik keras masyarakat atas intimidasi aparat, seruan solidaritas kian mengalir dari berbagai penjuru. Bukan berarti dukungan ini serta-merta menghapus trauma kolektif warga, namun ketidakadilan yang sedemikian terang-benderang itu sanggup menggugah lebih banyak kesadaran khalayak: kekerasan serupa tak selayaknya dialami siapapun, apalagi didiamkan; dan bahwa warga Dago Elos berhak mendapatkan keadilannya.
Pelaporan atas pemalsuan dokumen oleh keluarga Muller akhirnya diterima dan diambil alih oleh Polda Jawa Barat. Tahun lalu, PN Bandung menjatuhkan vonis bersalah kepada Muller bersaudara. Secercah harap yang lama digenggam warga Dago Elos kembali menemukan pijarnya.
Kemenangan di ranah pidana memang menjadi tonggak penting, tapi warga tetep harus membatalkan putusan perdata Mahkamah Agung sebelumnya, yang cacat sejak awal karena berdiri di atas dokumen palsu. Kini, perjuangan berlanjut melalui jalur Peninjauan Kembali (PK) II, sebagai upaya terakhir demi mengukuhkan keabsahan hak mereka di mata hukum. Namun, seperti biasa, di negeri ini keadilan sekalipun tak bisa dijanngkau tanpa biaya. Perjuangan tak hanya menuntut strategi, solidaritas, dan konsistensi saja; melainkan butuh pula ongkos besar sebagai persyaratan pengajuan PK.
Perjuangan ini belum usai.
Vonis terhadap Muller bersaudara memang membawa secercah kelegaan, namun mereka hanyalah pion dalam skema yang jauh lebih besar. Di balik mereka,berdiri kekuatan raksasa: mafia tanah bersenjata modal dan kuasa. Nama-nama seperti PT Dago Inti Graha, para pengusaha besar, serta aparat berpangkat tinggi turut disebut-sebut pulda dalam pusaran ini.
Mereka semua sejatinya harus dimintai pertanggungjawaban.
Sayangnya, yang dialami Dago Elos hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah serupa. Entah berapa banyak tanah rakyat yang telah dirampas, dan entah berapa lagi yang akan diusir dengan segala cara licik demi melanggengkan kepentingan dan keuntungan segelintir orang. Di negeri ini, terlalu banyak perjuangan warga mempertahankan ruang hidupnya justru dibalas dengan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi; ketika para pemilik modal tamak bersanding mesra dengan birokrat korup.
Perlawanan terhadap mafia tanah bukan semeata urusan mereka yang terdampak hari ini.
Ini perjuangan kita semua.
Hari ini mungkin Dago Elos.
Esok, bisa jadi tanah dan rumahmu sendiri yang mereka incar.
No Comments Yet...